Minggu, 09 Februari 2014

Review: Bumi Manusia



Judul               : Bumi Manusia
Seri/Kategori   : Tetralogi Buru #1/Fiksi
Pengarang       : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit           : Lentera Dipantara
Kota Terbit      : Jakarta
Tahun Terbit    : 27 Desember 2005
Tebal Buku      : 538 Halaman
Harga              : Rp. 90.000 / 76.500



Senin, 03 Februari 2014

7 Buku Favoritku

Awalnya membaca merupakan hal yang begitu tidak aku sukai. Ibarat penyakit, Ia terus aku cegah dan sebisa mungkin untuk tidak membaca. Desakan orang tua, terutama Ayah yang terus membujuk agar aku senang membaca pelan-pelan membuahkan hasil. Pertama-tama aku disuguhkan komik biografi tentang tokoh-tokoh dunia. Seingatku saat itu masih di SD. 
Namun, itu tidak bertahan lama. Masuk SMP, aku tidak menyukai baca sama sekali. Hingga akhirnya sang Ayah yang baru saja pulang dinas keluar kota, menghadiahi satu buah buku untukku, "AKU", karya Sjuman Djaya. Sebuah buku yang tadinya skrip skenario yang tidak jadi divisualkan. Disitu pula aku mulai menulis puisi-puisi. Tentu saja, semenjak itu aku begitu mengagumi karya-karya Chairil Anwar, walau pada beberapa karyanya (yang katanya banyak terjemahan) tidak aku mengerti maknanya. Sedangkan novel pertama yang kubaca saat itu adalah Ayat-Ayat Cinta cetakan pertama tahun 2004. Pada awalnya, novel religi karya Habiburrahman El Shirazy itu belum booming. Bahkan setelah selesai membacanya, aku sempat berkenalan dengan Kang Abik (panggilannya) meski via sms.

Minggu, 02 Februari 2014

Mukadimah (Yang Terlambat)

Tulisan. Sekilas kata ini seperti remeh temeh. Sebuah kata berimbuhan '-an' yang kelahirannya ibarat hanya pelengkap sebuah kamus. Tapi, dengan penambahan interpretasi sedikit saja pada kata tersebut, ia tidak saja mampu mengawal pikiran manusia, namun juga tak akan kesulitan menjelajah dunia. Ya, betapa magisnya kata "tulisan". Hanya orang-orang yang mau bijak terhadapnya yang akan takzim penuh hormat. Bayangkan jika tulisan tak pernah ditemukan pada peradaban manusia? Sungguh lelah mulut kita harus komat kamit bercerita. Sungguh repot juga sebuah negara menancapkan tapal batas wilayahnya. Sedang ketika hendak mendeklarasikan peperangan/perdamaian, sang pemimpin harus bertandang ke suatu tempat dahulu untuk mengutarakan niatannya. Duh, repotnya!


Resensi Buku: “Tiba-tiba Malam”




Pengantar

Sebelumnya, izinkan lah saya menyampaikan beberapa hal. Kiranya kita sudah mengenal betul siapa Putu Wijaya dan bagaimana kiprahnya di dunia kesusastraan Indonesia. Karya-karyanya yang fenomenal tidak hanya menambah khazanah sastra saja, lebih dari itu karyanya telah berhasil memperkaya pengetahuan kita tentang kepenulisan. Sebenarnya, saya sedikit ragu ketika hendak merensesi karya beliau. Keraguan ini didasari oleh kesadaran saya yang hanya seorang pembaca, terlebih seorang yang baru memulai menulis. Ditambah masalah pemilihan waktu resensi, yang menurut saya sudah ‘kadaluarsa’ mengingat tahun terbitnya novel ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saya mengharapkan kritik dan saran pada resensi yang akan saya sampaikan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Salam sastra.

***