Pengantar
Sebelumnya,
izinkan lah saya menyampaikan beberapa hal. Kiranya kita sudah mengenal betul
siapa Putu Wijaya dan bagaimana kiprahnya di dunia kesusastraan Indonesia.
Karya-karyanya yang fenomenal tidak hanya menambah khazanah sastra saja, lebih
dari itu karyanya telah berhasil memperkaya pengetahuan kita tentang
kepenulisan. Sebenarnya, saya sedikit ragu ketika hendak merensesi karya
beliau. Keraguan ini didasari oleh kesadaran saya yang hanya seorang pembaca,
terlebih seorang yang baru memulai menulis. Ditambah masalah pemilihan waktu
resensi, yang menurut saya sudah ‘kadaluarsa’ mengingat tahun terbitnya novel
ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saya mengharapkan kritik
dan saran pada resensi yang akan saya sampaikan. Semoga tulisan ini bermanfaat
bagi kita semua. Salam sastra.
***
Judul : Tiba-tiba Malam
Pengarang : Putu Wijaya
Penerbit : Kompas
Kota terbit : Jakarta
Tahun Terbit : Januari, 2005
Harga : Rp. 36.000
Tebal : 236 halaman
Sinopsis
Mengambil
latar belakang sebuah desa yang berada di pelosok pulau Bali, novel ini dengan
gaya yang konvensional mengajak kita untuk menelusuri atau barangkali berpikir
ulang tentang kebiasaan turun-temurun. Berawal dari pernikahan Sunatha dan
kembang desa bernama Utari, desas-desus timbul di tengah masyarakat yang
menyaksikannya. Utari yang telah sejak lama menjadi primadona desa, justru
memilih seorang guru SMP. Mayoritas masyarakat desa yang terlanjur menganggap
kelayakan Sunatha tidak lebih baik dibanding dengan Ngurah, pemuda desa lainnya
yang bijaksana dan kaya raya serta memiliki kedudukan sosial yang tinggi di
tengah masyarakat, mulai berpikir yang tidak-tidak. Banyak dari mereka yang
berpikir kalau Sunatha telah meracuni pikiran Utari dengan guna-guna. Terutama bagi Renti, pemuda yang menjadi pengawal
pribadi Ngurah. Praduga itu diperkuat
setelah kebanyakan orang yang sudah mahfum bahwa Ngurah memang telah lama
menaruh hati pada Utari. Bahkan Ia telah menyiapkan segala hal untuk melamar
Utari. Tak ayal pernikahan Sunatha dan Utari meninggalkan bermacam reaksi.
Menjelang
keberangkatan Sunatha yang akan bertugas mengajar di Kupang sehari setelah
pernikahannya, datang lah seorang warga asing ke desa terpencil ini. Tentu saja
orang terperanga dan keheranan melihat ‘benda aneh’ menyasar ke desa mereka.
Mengingat desa tersebut bukan lah destinasi wisata para turis asing yang
kebanyakan memilih menghabiskan liburannya di Kuta, Denpasar atau Tanah Lot.
Kedatangan
David, orang asing tersebut, tidak hanya mencuri perhatian masyarakat desa.
Namun, ia telah berusaha mencampuri dirinya pada kegiatan turun temurun desa.
Didekatinya Subali, ayah dari Sunatha. David menganggap kebiasaan gotong royong
yang menyingkirkan hak-hak individu adalah sebuah langkah kemunduran dari
kemungkinan masyarakat untuk maju mengikuti laju zaman.
Subali
yang mendengar kata-kata David lambat laun menyetejui. Lembaga desa berupa banjar mulai ia tinggalkan. Menurut adat
istiadat, perilaku Subali ini merupakan bentuk bantahan dan perlawanan terhadap
kebijaksanaan leluhur. Subali yang tak acuh dengan kebiasaan adat, mendapati
diri dan keluarganya menjadi musuh desa dan diancam akan dikeluarkan dari krama
desa. Ini berarti pengucilan terhadap segala hal.
Kisah
yang mencekam tidak berhenti di sana. Badai lainnya yang menerpa keluarga
Subali kali ini terkait anak dan menantunya, Sunatha dan Utari. Mengetahui
Sunatha merantau ke Kupang, Utari yang kecewa karena tak digauli saat malam
pertama mulai melirik Ngurah, yang memang membuka jalan bagi keduanya untuk
merajut kasih.
Konflik
demi konflik menimpa keluarga Subali. Setelah ditinggal David ke Australia, ia
mendadak seperti jadi linglung. Sementara di luar terdengar kabar Utari telah
bunting karena ulah Ngurah. Sunithi yang mengetahui ini semakin kebingungan.
Melihat ayahnya yang sakit dan ibunya
yang hendak menemui azal serta perlakuan masyarakat desa yang mengucilkannya,
perlahan mulai menggeser kedudukan Sunithi menjadi tulang punggung keluarga. Ia
urusi semua keperluan rumah tangga. Dari turun ke sawah, berternak sapi hingga
memberi makan kedua orang tuanya. Sedang harapan yang ditunggu dari kakanya,
Sunatha, hanya muncul sekelabat bayang saja.
Di
pulau seberang, Kupang, Sunatha hanya bisa berharap-harap cemas setelah
mengetahui kabar yang ia terima dari Sunithi. Sahabatnya, Badung berusaha
menguatkan. Hingga waktu kepulangannya tiba, Sunatha yang telah dibekali
pendirian yang kuat turun ke gelanggang berupaya menyelesaikan masalah yang
menimpa keluarganya. Kenyataan Utari yang telah jatuh ke pelukan Ngurah Ia
hadapi dengan jantan. Demikian juga sikap jiwa besar dan jujurnya kala
menghadapi lembaga desa demi keselamatan keluarganya.
Kelebihan
Novel
ini berhasil mengajak pembacanya untuk berpikir dan mengkaji ulang tentang
kebiasaan lama yang masih dipertahankan di tengah kemajuan peradaban dunia.
Meski gaya penulisannya terlihat konvensional, namun Putu tetap berhasil
menggiring kita pada lika-liku kebudayaan sebuah pedalaman di Bali. Ibarat
dalang cerita yang ulung, Putu Wijaya mampu membawa pembacanya larut sekaligus
seolah berpihak pada tokoh-tokoh tertentu dan ikut bersama konflik yang
meliputinya. Bahkan saat ending cerita,
kita sebagai pembaca tidak bisa tidak untuk sekedar tersenyum atau tertawa
menyaksikan kalimat yang diucapkan oleh salah seorang tokohnya. Disamping itu, Ia
juga dengan bijak tidak memposisikan dirinya pada kecenderungan tertentu.
Sebuah langkah yang jenius untuk membiarkan pembacanya berpikir dan memilih
mana kiranya yang terbaik.
Kelemahan
Meski
novel ini mampu menyuguhkan sisi kebudayaan Bali dengan segala aturan dan
kebiasaan masyarakatnya, namun dari segi alur cerita cenderung sedikit
membosankan. Alurnya yang terus maju dan terkesan cepat membuat gejolak emosi
pembaca tidak pernah sampai klimaks. Selain itu, pada bagian akhir cerita, saya
sebagai pribadi tidak mendapatkan penyelesaian yang berarti. Cerita yang mudah
ditebak juga menjadi perhatian saya.
Atau barangkali Putu Wijaya sengaja membiarkannya demikian?
Kesimpulan
Banyak
hal yang dapat kita renungkan tentang perlu atau tidaknya mempertahankan suatu
adat istiadat yang berlaku di suatu tempat. Novel ini kiranya dapat menjadi
sebagai bahan renungan bagi kita semua. Suatu refleksi yang menurut saya juga
dapat dikaitkan dengan ragam budaya daerah Indonesia lainnya. Bukan hanya Pulau
Bali
Kecocokan
Novel
‘Tiba-tiba Malam’ diperuntukkan untuk kategori masyarakat dewasa. Mengingat ada
beberapa bagian di dalamnya yang memuat adegan dewasa.
Malang,
3 Februari 2014
Aqsha
Al Akbar
hayeu..!!
BalasHapuskeren way resensinya sampe akar-akarnya pun nampak.
aku pingin bisa resensiin buku, tapi gak pernah bisa..
Aku justru mau nanya ke kau. Gimana resensi yang betul. Hahaha.
BalasHapus