Minggu, 02 Februari 2014

Resensi Buku: “Tiba-tiba Malam”




Pengantar

Sebelumnya, izinkan lah saya menyampaikan beberapa hal. Kiranya kita sudah mengenal betul siapa Putu Wijaya dan bagaimana kiprahnya di dunia kesusastraan Indonesia. Karya-karyanya yang fenomenal tidak hanya menambah khazanah sastra saja, lebih dari itu karyanya telah berhasil memperkaya pengetahuan kita tentang kepenulisan. Sebenarnya, saya sedikit ragu ketika hendak merensesi karya beliau. Keraguan ini didasari oleh kesadaran saya yang hanya seorang pembaca, terlebih seorang yang baru memulai menulis. Ditambah masalah pemilihan waktu resensi, yang menurut saya sudah ‘kadaluarsa’ mengingat tahun terbitnya novel ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saya mengharapkan kritik dan saran pada resensi yang akan saya sampaikan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Salam sastra.

***


Judul               : Tiba-tiba Malam
Pengarang       : Putu Wijaya
Penerbit           : Kompas
Kota terbit       : Jakarta
Tahun Terbit    : Januari, 2005
Harga              : Rp. 36.000
Tebal               : 236 halaman

Sinopsis

Mengambil latar belakang sebuah desa yang berada di pelosok pulau Bali, novel ini dengan gaya yang konvensional mengajak kita untuk menelusuri atau barangkali berpikir ulang tentang kebiasaan turun-temurun. Berawal dari pernikahan Sunatha dan kembang desa bernama Utari, desas-desus timbul di tengah masyarakat yang menyaksikannya. Utari yang telah sejak lama menjadi primadona desa, justru memilih seorang guru SMP. Mayoritas masyarakat desa yang terlanjur menganggap kelayakan Sunatha tidak lebih baik dibanding dengan Ngurah, pemuda desa lainnya yang bijaksana dan kaya raya serta memiliki kedudukan sosial yang tinggi di tengah masyarakat, mulai berpikir yang tidak-tidak. Banyak dari mereka yang berpikir kalau Sunatha telah meracuni pikiran Utari dengan guna-guna. Terutama bagi Renti, pemuda yang menjadi pengawal pribadi Ngurah.  Praduga itu diperkuat setelah kebanyakan orang yang sudah mahfum bahwa Ngurah memang telah lama menaruh hati pada Utari. Bahkan Ia telah menyiapkan segala hal untuk melamar Utari. Tak ayal pernikahan Sunatha dan Utari meninggalkan bermacam reaksi.

Menjelang keberangkatan Sunatha yang akan bertugas mengajar di Kupang sehari setelah pernikahannya, datang lah seorang warga asing ke desa terpencil ini. Tentu saja orang terperanga dan keheranan melihat ‘benda aneh’ menyasar ke desa mereka. Mengingat desa tersebut bukan lah destinasi wisata para turis asing yang kebanyakan memilih menghabiskan liburannya di Kuta, Denpasar atau Tanah Lot. 

Kedatangan David, orang asing tersebut, tidak hanya mencuri perhatian masyarakat desa. Namun, ia telah berusaha mencampuri dirinya pada kegiatan turun temurun desa. Didekatinya Subali, ayah dari Sunatha. David menganggap kebiasaan gotong royong yang menyingkirkan hak-hak individu adalah sebuah langkah kemunduran dari kemungkinan masyarakat untuk maju mengikuti laju zaman.

Subali yang mendengar kata-kata David lambat laun menyetejui. Lembaga desa berupa banjar mulai ia tinggalkan. Menurut adat istiadat, perilaku Subali ini merupakan bentuk bantahan dan perlawanan terhadap kebijaksanaan leluhur. Subali yang tak acuh dengan kebiasaan adat, mendapati diri dan keluarganya menjadi musuh desa dan diancam akan dikeluarkan dari krama desa. Ini berarti pengucilan terhadap segala hal.

Kisah yang mencekam tidak berhenti di sana. Badai lainnya yang menerpa keluarga Subali kali ini terkait anak dan menantunya, Sunatha dan Utari. Mengetahui Sunatha merantau ke Kupang, Utari yang kecewa karena tak digauli saat malam pertama mulai melirik Ngurah, yang memang membuka jalan bagi keduanya untuk merajut kasih.

Konflik demi konflik menimpa keluarga Subali. Setelah ditinggal David ke Australia, ia mendadak seperti jadi linglung. Sementara di luar terdengar kabar Utari telah bunting karena ulah Ngurah. Sunithi yang mengetahui ini semakin kebingungan. Melihat ayahnya yang sakit dan ibunya yang hendak menemui azal serta perlakuan masyarakat desa yang mengucilkannya, perlahan mulai menggeser kedudukan Sunithi menjadi tulang punggung keluarga. Ia urusi semua keperluan rumah tangga. Dari turun ke sawah, berternak sapi hingga memberi makan kedua orang tuanya. Sedang harapan yang ditunggu dari kakanya, Sunatha, hanya muncul sekelabat bayang saja. 

Di pulau seberang, Kupang, Sunatha hanya bisa berharap-harap cemas setelah mengetahui kabar yang ia terima dari Sunithi. Sahabatnya, Badung berusaha menguatkan. Hingga waktu kepulangannya tiba, Sunatha yang telah dibekali pendirian yang kuat turun ke gelanggang berupaya menyelesaikan masalah yang menimpa keluarganya. Kenyataan Utari yang telah jatuh ke pelukan Ngurah Ia hadapi dengan jantan. Demikian juga sikap jiwa besar dan jujurnya kala menghadapi lembaga desa demi keselamatan keluarganya. 

Kelebihan

Novel ini berhasil mengajak pembacanya untuk berpikir dan mengkaji ulang tentang kebiasaan lama yang masih dipertahankan di tengah kemajuan peradaban dunia. Meski gaya penulisannya terlihat konvensional, namun Putu tetap berhasil menggiring kita pada lika-liku kebudayaan sebuah pedalaman di Bali. Ibarat dalang cerita yang ulung, Putu Wijaya mampu membawa pembacanya larut sekaligus seolah berpihak pada tokoh-tokoh tertentu dan ikut bersama konflik yang meliputinya. Bahkan saat ending cerita, kita sebagai pembaca tidak bisa tidak untuk sekedar tersenyum atau tertawa menyaksikan kalimat yang diucapkan oleh salah seorang tokohnya. Disamping itu, Ia juga dengan bijak tidak memposisikan dirinya pada kecenderungan tertentu. Sebuah langkah yang jenius untuk membiarkan pembacanya berpikir dan memilih mana kiranya yang terbaik.

Kelemahan

Meski novel ini mampu menyuguhkan sisi kebudayaan Bali dengan segala aturan dan kebiasaan masyarakatnya, namun dari segi alur cerita cenderung sedikit membosankan. Alurnya yang terus maju dan terkesan cepat membuat gejolak emosi pembaca tidak pernah sampai klimaks. Selain itu, pada bagian akhir cerita, saya sebagai pribadi tidak mendapatkan penyelesaian yang berarti. Cerita yang mudah ditebak juga menjadi perhatian saya.  Atau barangkali Putu Wijaya sengaja membiarkannya demikian?

Kesimpulan

Banyak hal yang dapat kita renungkan tentang perlu atau tidaknya mempertahankan suatu adat istiadat yang berlaku di suatu tempat. Novel ini kiranya dapat menjadi sebagai bahan renungan bagi kita semua. Suatu refleksi yang menurut saya juga dapat dikaitkan dengan ragam budaya daerah Indonesia lainnya. Bukan hanya Pulau Bali

Kecocokan

Novel ‘Tiba-tiba Malam’ diperuntukkan untuk kategori masyarakat dewasa. Mengingat ada beberapa bagian di dalamnya yang memuat adegan dewasa.

Malang, 3 Februari 2014
Aqsha Al Akbar

2 komentar:

  1. hayeu..!!
    keren way resensinya sampe akar-akarnya pun nampak.
    aku pingin bisa resensiin buku, tapi gak pernah bisa..

    BalasHapus
  2. Aku justru mau nanya ke kau. Gimana resensi yang betul. Hahaha.

    BalasHapus

Silahkan komentari tulisan di atas. Kritik dan saran sangat membantu saya memperbaiki tulisan-tulisan yang lain. Terima kasih. :)