Minggu, 02 Februari 2014

Mukadimah (Yang Terlambat)

Tulisan. Sekilas kata ini seperti remeh temeh. Sebuah kata berimbuhan '-an' yang kelahirannya ibarat hanya pelengkap sebuah kamus. Tapi, dengan penambahan interpretasi sedikit saja pada kata tersebut, ia tidak saja mampu mengawal pikiran manusia, namun juga tak akan kesulitan menjelajah dunia. Ya, betapa magisnya kata "tulisan". Hanya orang-orang yang mau bijak terhadapnya yang akan takzim penuh hormat. Bayangkan jika tulisan tak pernah ditemukan pada peradaban manusia? Sungguh lelah mulut kita harus komat kamit bercerita. Sungguh repot juga sebuah negara menancapkan tapal batas wilayahnya. Sedang ketika hendak mendeklarasikan peperangan/perdamaian, sang pemimpin harus bertandang ke suatu tempat dahulu untuk mengutarakan niatannya. Duh, repotnya!



Sejak saya kuliah, terpikir dalam kepala saya tentang penemuan-penemuan yang ada di dunia. Saat SD dulu saya sering membaca komik kisah penemu-penemu dunia, seperti kisahnya Alfred Bernhard Nobel, T.A. Edison, Alexander Graham Bell (yang belakangan penemu Telepon sebenarnya adalah Antonio Meucci) dan lain sebagainya. Namun, terlepas kehebatan penemuan teknologi tersebut, saya jauh lebih mengapresiasi penemuan 'bahasa' sebagai produk kebudayaan alami dalam sejarah manusia. Meski tidak dirincikan dalam sejarah tentang kapan sesungguhnya bahasa lahir. 

Lebih lanjut, tanpa bahasa tentu tak ada 'tulisan'. Sejak ditemukan pada abad 600SM di Mesoamerika, tulisan telah berkembang pesat seiring perbedaan era yang menghubungkannya. Hingga akhirnya penemuan berbagai teknologi berdasarkan riset keilmuan yang kelahirannya sama sekali karena campur tangan penemuan 'tulisan'. Inilah mengapa saya begitu terpesona dengan penemuan terhebat sepanjang sejarah manusia.

Berangkat dari pemikiran yang sengaja saya sandarkan pada latar belakang historis tersebut, maka blog ini lahir. Diawali ketidaksengajaan saya membuka berita di salah satu situs lokal berita Aceh tentang gerakan Blogger Aceh Suka Buku (BASB), maka tertarik juga saya untuk bergabung. Dengan memulai dengan membaca buku dan dilanjutkan dengan meresensinya, bagi saya bukan saja menarik. Lebih dari itu, membaca dan menulis bagi saya merupakan bagian terpenting dalam kehidupan. Selain tidak ditemukan ruginya, kegiatan seperti ini memang menyenangkan.

Lalu kenapa harus diresensi? Secara pengertian, resensi berarti mengulas dan mengupas sisi dalam sebuah karya tanpa harus menceritakan keseluruhan detil ceritanya. Sedangkan tujuan dasarnya adalah memberi pandangan pada masyarakat tentang suatu karya melalui pesan yang subjektif dengan penilaian (yang harapannya) berimbang. 

Sekilas menulis sebuah resensi seperti membuang-buang waktu. Namun, bagi saya pribadi yang sudah sejak awal menganggap membaca dan menulis merupakan elemen penting pada kehidupan, berpandangan kegiatan ini tak lain dari sebuah wujud apresiasi terhadap suatu karya tulis. Lebih jauh, mengutip perkataan teman tentang resensi. Ia mengatakan:

             "Bukan idola mengidolakan, ini hanya sekedar menunjukan keterbatasan diri."

Ya, menunjukkan keterbatasan diri. Karena dengan membaca saja, kita tidak akan mudah mengingat suatu karya. Mengingat dan melengkapinya melalui pandangan lewat sebuah tulisan, saya pikir merupakan kepingan lain tentang kebijaksanaan dalam mengapresiasi karya penulisnya. Bukan kah, selain lewat tutur kata kita juga berpedoman melalui tulisan? Bahkan sebagai pegangan hidup kita juga berpedoman pada Al-Qur'an yang merupakan ayat-ayat yang tertulis. Salam.

Malang, 3 Februari
Aqsha Al Akbar

1 komentar:

Silahkan komentari tulisan di atas. Kritik dan saran sangat membantu saya memperbaiki tulisan-tulisan yang lain. Terima kasih. :)