Minggu, 09 Februari 2014

Review: Bumi Manusia



Judul               : Bumi Manusia
Seri/Kategori   : Tetralogi Buru #1/Fiksi
Pengarang       : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit           : Lentera Dipantara
Kota Terbit      : Jakarta
Tahun Terbit    : 27 Desember 2005
Tebal Buku      : 538 Halaman
Harga              : Rp. 90.000 / 76.500







Sesuai ‘janji’ saya, pada postingan kali ini saya mencoba meresensi atau menulis review salah satu buku fenomenal, Bumi Manusia. Sebetulnya sudah banyak tulisan yang membedah isi buku tersebut. Tapi, sebagai bentuk apresiasi kepada almarhum Pramoedya Ananta Toer, saya juga akan menulis sebuah review Bumi Manusia. Awalnya, saya hendak menggabungkan empat buku sekaligus dalam Tetralogi Buru ini. Namun, setelah saya pikir-pikir, konteks dan pembawaan cerita yang mengalami perbedaan dari satu buku ke buku yang lain, membuat saya urung.
Berbeda dengan resensi sebelumnya yang menggunakan pola struktur yang baku, maka kali ini saya akan menyampaikannya dengan bebas. 
 **
Ialah seorang pemuda pribumi bernama Minke. Bukan pribumi biasa, ayahnya berasal dari keluarga Raja Jawa yang menjabat sebagai Bupati. Pada masa kolonial, hanya golongan Belanda Totok, Indo dan keluarga bangsawan saja yang berhak mendapat pendidikan HBS, setara dengan SMA. Karena latar belakang demikian lah, Minke dapat mengenyam pendidikan HBS. 
Apa yang membuat Minke berbeda dengan kebanyakan pribumi adalah pengetahuan dan pola pikirnya yang cenderung liberal. Ia tidak menyukai adat istiadat dan kebiasaan yang telah turun temurun dijalankan oleh masyarakat Jawa. Suatu adat yang mengenal kasta sosial pada berbagai golongan. Mirip sistem yang diterapkan Belanda dalam membagi golongan Eropa hingga pribumi. Ya, Minke adalah pengagum Eropa dengan segala kemajuannya. Baginya saat itu, Eropa adalah guru terbaik untuk menancapkan ilmu ke dalam kehidupan sehari-hari.
Pada masa sekolahnya di HBS, Minke merupakan salah seorang yang berprestasi. Ia gemar tulis menulis dan Sastra. Ia pun mengagumi Multatuli, seorang pengarang berkelahiran Amsterdam. Salah satu karya yang begitu dikagumi adalah Max Havelaar (1860). Sebuah buku yang menggambarkan sisi kelam penjajahan Belanda di Hindia (Indonesia). Minat bakat Minke dalam sastra mendapat apresiasi dari Magda Peters, guru bahasanya di HBS. Bersama gurunya ini lah Minke belajar banyak tentang kepenulisan. Banyak dari karya Minke yang dipublikasikan ke media cetak. Namun, dalam karyanya, Minke sengaja tidak menyebutkan nama asli, melainkan menggunakan nama pena; Max Tollenaar. Nama yang terinspirasi dari tokoh favoritnya, Multatuli.

Multatuli - latin (Aku yang telah banyak menderita)


 
Suatu ketika, teman sekolahnya di HBS menemui Minke. Sosok yang begitu benci pada Minke. Ia yang selalu memandang remeh dan rendah kaum pribumi, tak terkecuali Minke. Pada saat itu, Robert Surhoof, demikian namanya, memergoki Minke yang sedang memandangi foto Ratu Wilhelmina yang begitu cantik. Seketika itu Robert Surhoof menertawai Minke. Hal ini membuat Minke marah dan hendak menyerang Robert. Namun, Robert Surhoof mengalihkannya dan mengajak Minke untuk melihat seorang gadis yang jauh lebih cantik dibandingkan Ratu Wilhelmina.
Jadilah mereka berdua berangkat ke rumah bidadari itu. Minke mengetahui, hal ini hanya akal-akalan Robert untuk melecehkannya. Namun, Minke tidak ingin mundur. Dengan dokar mewah yang mereka tumpangi, sampailah kedua siswa HBS itu di sebuah rumah yang besar, hampir menyerupai gedung. Di depannya tertulis  Bourderij Buitenzorg. Sebuah rumah yang digunakan juga sebagai tempat berbagai usaha. 
Ketika memasuki rumah tersebut, telah berdiri seorang lelaki yang umurnya sebaya dengan mereka. Ialah Robert Mellema. Lelaki tersebut langsung menyambut Surhoof dan tidak menganggap Minke sama sekali. Tidak lama setelah penyambutan itu, datang lah seseorang gadis yang begitu cantik. Gadis itu tak lain adik dari Robert Mellema, Annelies Mellema. Kehadiran Annelies begitu memukau Minke. Sekejap Ia langsung melupakan kecantikan Ratu Wilhelmina. 

Ratu Wilhelmina

Annelies langsung membawa Minke berkeliling di sekitar rumah. Hingga akhirnya bertemu lah Minke dengan seorang perempuan pribumi, Nyai Ontosoroh alias Sanikem. Nyai ini adalah ibu dari Annelies. Sosok yang juga dikagumi oleh Minke karena keahliannya dalam mengatur perusahaan, pengetahuannya tentang bahasa Belanda, administrasi dan perdagangan. Semua itu diraih tanpa pendidikan formal, melainkan dengan cara otodidak dari Tuan Mellema yang menjadikan Nyai Ontosoroh gundik atau istri yang tidak sah. Melalui Tuan Mellema ini juga Sanikem belajar banyak tentang perusahaan hingga akhirnya kendali perusahaan berada digenggaman Nyai Ontosoroh. 
Pertemuan dengan Annelies membuat Minke jatuh cinta padanya. Kedekatan mereka berdua pun berlanjut hingga jenjang pernikahan. Suatu pernikahan yang tak lazim terjadi pada masa itu, ketika dua orang yang berbeda kasta saling merajut kasih. Hal ini juga tidak begitu disukai oleh Ayahanda Minke yang masih kental dengan tradisi Jawa. Tapi, tidak dengan Ibunda Minke. Seorang Ibu yang sangat menyangi Minke dengan tulus. Sosok yang memberi Minke kebebasan dalam menentukan jalan kehidupannya sendiri. 
Hari demi hari berlalu hingga masalah menimpa keluarga Nyai Ontosoroh. Setelah kematian Tuan Mellema, suami sekaligus Tuannya, datang lah surat dari pengadilan Putih (pengadilannya orang Eropa) untuk kedua kalinya. Setelah sebelumnya Nyai, Minke, Annelies dan Darsam (seorang pengawal setia Nyai Ontosoroh) disidang atas perkara yang disebabkan oleh kematian Tuan Mellema.
Kali ini pemanggilan Nyai Ontosoroh dan Annelies Mellema terkait pewarisan serta perwalian asuh Annelies. Surat pemanggilan tersebut dilatar-belakangi oleh penuntutan keluarga sah Tuan Mellema. Mereka menuntut segala peninggalan Tuan Mellema diberikan kepada mereka. Demikian juga hak asuh Annelies menjadi milik kelurga Mellema.
Dengan gencarnya pemberitaan media tentang kasus ini, membuat orang-orang yang bersimpati pada keluarga Nyai Ontosoroh dan Minke menjadi marah. Banyak organisasi-organisasi yang mengecam keputusan pengadilan tersebut. Tidak terkecuali organisasi Islam pada masa itu yang merasa dilecehkan. Masalahnya pernikahan Minke dan Annelies memang dilaksanakan secara keislaman. Berita ini pun juga menyulut amarah pribumi yang lain. Semakin jelas bagi mereka pribumi tidak lain merupakan binatang yang bebas dipermainkan sesuka hati oleh penguasa kulit putih.
Masalah yang menimpa Minke ini juga mendapat perhatian dari Miriam de la Croix*, seorang sahabat Minke yang ditemuinya sesaat setelah pelantikan ayahandanya di kota B. Miriam menyukai Minke dan sangat berharap Minke dapat membangkitkan martabat pribumi dari kerasnya penjajahan Belanda. Apa yang terjadi kemudian hanya lah cerita kelam.
**
Demikian akhir babak pertama dalam Tetralogi Buru. Kisah yang mengharukan lebih mendominasi dalam karya Pram tersebut. Selain diajak ‘hidup’ kembali dalam nuansa kolonial, pembaca juga akan merasakan kegetiran kisah Pribumi melalui mata dan pikiran Minke. 
Lewat Minke kita dapat mengetahui bagaimana kehidupan pribumi pada masa itu. Karakter Minke yang keras dan haus akan ilmu mengajarkan kita untuk bersikap terhadap kelaliman. Sosok Minke juga digambarkan Pram sebagai pemuda yang lembut hatinya. Ia seseorang yang gelisah kala melihat ketidakadilan yang menimpa sebagian besar pribumi. Sisi kemanusiaan menjadi kekuatan utama dalam karya ini. 
Demikian pula dengan karakter Nyai Ontosoroh. Perempuan bertangan besi dengan hati yang mulia. Ia dengan gigih mengangkat harkat dan martabat dirinya. Ia boleh saja berstatus sebagai gundik. Namun, kecekatannya dalam membangun perusahaan membuat golongan kulit putih mau tidak mau menghormatinya. Barangkali Ia satu-satunya pribumi perempuan dengan visi dan misi yang jauh melewati masanya. Karena kita ketahui, pada saat itu sangat jarang pribumi perempuan yang berkarir layaknya lelaki. Ini pula yang membuat Minke kagum pada mertuanya itu, sehingga menganggapnya sebagai guru. Keberaniannya dalam menyikapi berbagai permasalahan juga patut dijadikan contoh. Pada kasus pewarisan harta Mellema misalnya, Ia boleh saja kalah dalam persidangan. Namun, Ia tak boleh menunjukkan sikap menyerah tanpa upaya dan usaha sebelum menuju kekalahan itu. Ia tunjukkan pada kaum pribumi lainnya, bahwa sebagai makhluk Allah, semua orang berhak menyatakan sikap dan suaranya. Suatu sosok yang begitu langka dewasa ini. Tidak heran, sematan 'Iron Lady' sangat pantas disandangnya.
 Di sini lah kehebatan Pram dalam membangun karakter tokoh-tokohnya. Cara Pram mendeskripsikan masing-masing tokoh juga sangat detil dan mampu membuat pembaca berimajinasi. Semua terlihat sempurna dengan kisah yang menghiasinya. Tentang bagaimana Pram menghubungkan satu konflik ke satu konflik lain. Dan bagaimana Pram menyelesaikan konflik-konflik tersebut hingga klimaks, semua disaji dalam gaya penuturan yang khas.  
Pram tidak hanya luar biasa sebagai pribadi, namun Ia juga luar biasa dengan 'anak rohaninya'. Melalui Bumi Manusia, mau tak mau pembaca akan menyelami sejarah bangsa yang kelam sekaligus penuh penderitaan. Kita akan langsung terkesan dan menyimpan kenangan tersendiri ketika selesai membaca buku ini. Tidak heran karyanya ini dijadikan sebagai referensi pelajaran di berbagai sekolah luar negeri. Suatu hal yang kontras jika dibandingkan dengan Indonesia. Alih-alih berhebat-hebat dengan kesusastraan, justru masih banyak anak negeri yang belum membaca karya kemanusiaan ini. Sesuatu yang membuat saya sedikit mengutuk Orde Baru karena telah melarang penerbitan buku ini. Sebagai sebuah karya sumbangan Indonesia untuk dunia.


*Cerita lebih lanjut tentang Miriam dan Minke dapat ditemui pada buku ketiga, Jejak Langkah.

Malang, 10 Februari 2014
Aqsha Al Akbar

10 komentar:

  1. Pernah baca di mana gitu resensinya, baca sekilas, dulu saya kira Minke itu perempuan, rupanya laki-laki, hahaaa...
    Nice review

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya manggilnya Bu atau Kak ini? Hehehe :-d

      Makasih banyak komentarnya. Iya, resensi Bumi Manusia memang banyak bertebaran di internet. Jadi ya, review ini cuma sebagai penghormatan aja untuk Alm. Pramoedya.

      Hapus
  2. sampai sekrg sy blm begitu mengerti, kenapa dulu buku Bumi Manusia dibrendel sama pemerinth. pdhal bkunya 'hanya' mengisahkan kehidupan pribumi di zaman belanda. dari sekian byk tokoh di buku ini, saya suka karakter Nyai Ontosoroh. lebih kuat. makanya nggak salah, iconnya bumi manusia, nyai ontosoroh..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena Bumi Manusia satu paket dengan ketiga buku lainnya, wajar kalau dibredel dan dilarang penerbitannya. Kalau kita baca buku kedua dan ketiganya, nafas dari ideologi Sosialis terlihat kental. Ideologi terlarang pada masa Orba. Belum lagi, Pram sbg indvidu memang salah satu penganut ideologi Karl Marx dan Lenin.

      Betul Bang, karakter Nyai kuat bgt di buku ini. Termasuk di buku kedua. Hehehe.

      Hapus
  3. latar postingannya bikin mataku sakit, jujur saja ngga fokus bacanya,

    BalasHapus
  4. Hari ini film bumi manusia sudah beredar banyak di internet, salut dengan karakter nyai sama minke, selalu tegar pantang menyetah

    BalasHapus
  5. Penasaran bagaimana kisah cinta annelise setelah meninggalkan minke dan ibunya

    BalasHapus

Silahkan komentari tulisan di atas. Kritik dan saran sangat membantu saya memperbaiki tulisan-tulisan yang lain. Terima kasih. :)