Judul
: Bumi Manusia
Seri/Kategori :
Tetralogi Buru #1/Fiksi
Pengarang
: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit
: Lentera Dipantara
Kota
Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 27
Desember 2005
Tebal
Buku : 538 Halaman
Harga
: Rp. 90.000 / 76.500
Sesuai ‘janji’ saya, pada postingan
kali ini saya mencoba meresensi atau menulis review salah satu buku fenomenal, Bumi Manusia. Sebetulnya sudah
banyak tulisan yang membedah isi buku tersebut. Tapi, sebagai bentuk apresiasi
kepada almarhum Pramoedya Ananta Toer, saya juga akan menulis sebuah review Bumi Manusia. Awalnya, saya
hendak menggabungkan empat buku sekaligus dalam Tetralogi Buru ini. Namun,
setelah saya pikir-pikir, konteks dan pembawaan cerita yang mengalami perbedaan
dari satu buku ke buku yang lain, membuat saya urung.
Berbeda dengan resensi sebelumnya yang menggunakan pola struktur yang
baku, maka kali ini saya akan menyampaikannya dengan bebas.
**
Ialah seorang pemuda pribumi bernama
Minke. Bukan pribumi biasa, ayahnya berasal dari keluarga Raja Jawa yang
menjabat sebagai Bupati. Pada masa kolonial, hanya golongan Belanda Totok, Indo
dan keluarga bangsawan saja yang berhak mendapat pendidikan HBS, setara dengan
SMA. Karena latar belakang demikian lah, Minke dapat mengenyam pendidikan
HBS.
Apa yang membuat Minke berbeda dengan
kebanyakan pribumi adalah pengetahuan dan pola pikirnya yang cenderung liberal.
Ia tidak menyukai adat istiadat dan kebiasaan yang telah turun temurun
dijalankan oleh masyarakat Jawa. Suatu adat yang mengenal kasta sosial pada
berbagai golongan. Mirip sistem yang diterapkan Belanda dalam membagi golongan
Eropa hingga pribumi. Ya, Minke adalah pengagum Eropa dengan segala
kemajuannya. Baginya saat itu, Eropa adalah guru terbaik untuk menancapkan ilmu
ke dalam kehidupan sehari-hari.
Pada masa sekolahnya di HBS, Minke
merupakan salah seorang yang berprestasi. Ia gemar tulis menulis dan Sastra. Ia
pun mengagumi Multatuli, seorang pengarang berkelahiran Amsterdam. Salah satu
karya yang begitu dikagumi adalah Max
Havelaar (1860). Sebuah buku yang menggambarkan sisi kelam penjajahan
Belanda di Hindia (Indonesia). Minat bakat Minke dalam sastra mendapat
apresiasi dari Magda Peters, guru bahasanya di HBS. Bersama gurunya ini lah
Minke belajar banyak tentang kepenulisan. Banyak dari karya Minke yang
dipublikasikan ke media cetak. Namun, dalam karyanya, Minke sengaja tidak
menyebutkan nama asli, melainkan menggunakan nama pena; Max Tollenaar. Nama
yang terinspirasi dari tokoh favoritnya, Multatuli.
Multatuli - latin (Aku yang telah banyak menderita) |
Suatu ketika, teman sekolahnya di HBS
menemui Minke. Sosok yang begitu benci pada Minke. Ia yang selalu memandang
remeh dan rendah kaum pribumi, tak terkecuali Minke. Pada saat itu, Robert
Surhoof, demikian namanya, memergoki Minke yang sedang memandangi foto Ratu
Wilhelmina yang begitu cantik. Seketika itu Robert Surhoof menertawai Minke.
Hal ini membuat Minke marah dan hendak menyerang Robert. Namun, Robert Surhoof
mengalihkannya dan mengajak Minke untuk melihat seorang gadis yang jauh lebih
cantik dibandingkan Ratu Wilhelmina.
Jadilah mereka berdua berangkat ke
rumah bidadari itu. Minke mengetahui, hal ini hanya akal-akalan Robert untuk
melecehkannya. Namun, Minke tidak ingin mundur. Dengan dokar mewah yang mereka
tumpangi, sampailah kedua siswa HBS itu di sebuah rumah yang besar, hampir
menyerupai gedung. Di depannya tertulis Bourderij Buitenzorg. Sebuah rumah yang digunakan juga sebagai
tempat berbagai usaha.
Ketika memasuki rumah tersebut, telah
berdiri seorang lelaki yang umurnya sebaya dengan mereka. Ialah Robert Mellema.
Lelaki tersebut langsung menyambut Surhoof dan tidak menganggap Minke sama
sekali. Tidak lama setelah penyambutan itu, datang lah seseorang gadis yang
begitu cantik. Gadis itu tak lain adik dari Robert Mellema, Annelies Mellema.
Kehadiran Annelies begitu memukau Minke. Sekejap Ia langsung melupakan
kecantikan Ratu Wilhelmina.
Ratu Wilhelmina |
Annelies langsung membawa Minke
berkeliling di sekitar rumah. Hingga akhirnya bertemu lah Minke dengan seorang
perempuan pribumi, Nyai Ontosoroh alias Sanikem. Nyai ini adalah ibu dari
Annelies. Sosok yang juga dikagumi oleh Minke karena keahliannya dalam mengatur
perusahaan, pengetahuannya tentang bahasa Belanda, administrasi dan
perdagangan. Semua itu diraih tanpa pendidikan formal, melainkan dengan cara
otodidak dari Tuan Mellema yang menjadikan Nyai Ontosoroh gundik atau istri
yang tidak sah. Melalui Tuan Mellema ini juga Sanikem belajar banyak tentang
perusahaan hingga akhirnya kendali perusahaan berada digenggaman Nyai
Ontosoroh.
Pertemuan dengan Annelies membuat Minke
jatuh cinta padanya. Kedekatan mereka berdua pun berlanjut hingga jenjang
pernikahan. Suatu pernikahan yang tak lazim terjadi pada masa itu, ketika dua
orang yang berbeda kasta saling merajut kasih. Hal ini juga tidak begitu
disukai oleh Ayahanda Minke yang masih kental dengan tradisi Jawa. Tapi, tidak
dengan Ibunda Minke. Seorang Ibu yang sangat menyangi Minke dengan tulus. Sosok
yang memberi Minke kebebasan dalam menentukan jalan kehidupannya sendiri.
Hari demi hari berlalu hingga masalah
menimpa keluarga Nyai Ontosoroh. Setelah kematian Tuan Mellema, suami sekaligus
Tuannya, datang lah surat dari pengadilan Putih (pengadilannya orang Eropa)
untuk kedua kalinya. Setelah sebelumnya Nyai, Minke, Annelies dan Darsam
(seorang pengawal setia Nyai Ontosoroh) disidang atas perkara yang disebabkan
oleh kematian Tuan Mellema.
Kali ini pemanggilan Nyai Ontosoroh dan
Annelies Mellema terkait pewarisan serta perwalian asuh Annelies. Surat
pemanggilan tersebut dilatar-belakangi oleh penuntutan keluarga sah Tuan
Mellema. Mereka menuntut segala peninggalan Tuan Mellema diberikan kepada
mereka. Demikian juga hak asuh Annelies menjadi milik kelurga Mellema.
Dengan gencarnya pemberitaan media
tentang kasus ini, membuat orang-orang yang bersimpati pada keluarga Nyai
Ontosoroh dan Minke menjadi marah. Banyak organisasi-organisasi yang mengecam
keputusan pengadilan tersebut. Tidak terkecuali organisasi Islam pada masa itu
yang merasa dilecehkan. Masalahnya pernikahan Minke dan Annelies memang
dilaksanakan secara keislaman. Berita ini pun juga menyulut amarah pribumi yang
lain. Semakin jelas bagi mereka pribumi tidak lain merupakan binatang yang
bebas dipermainkan sesuka hati oleh penguasa kulit putih.
Masalah yang menimpa Minke ini juga
mendapat perhatian dari Miriam de la Croix*, seorang sahabat Minke yang
ditemuinya sesaat setelah pelantikan ayahandanya di kota B. Miriam menyukai
Minke dan sangat berharap Minke dapat membangkitkan martabat pribumi dari
kerasnya penjajahan Belanda. Apa yang terjadi kemudian hanya lah cerita kelam.
**
Demikian akhir babak pertama dalam
Tetralogi Buru. Kisah yang mengharukan lebih mendominasi dalam karya Pram
tersebut. Selain diajak ‘hidup’ kembali dalam nuansa kolonial, pembaca juga
akan merasakan kegetiran kisah Pribumi melalui mata dan pikiran Minke.
Lewat Minke kita dapat mengetahui
bagaimana kehidupan pribumi pada masa itu. Karakter Minke yang keras dan haus
akan ilmu mengajarkan kita untuk bersikap terhadap kelaliman. Sosok Minke juga
digambarkan Pram sebagai pemuda yang lembut hatinya. Ia seseorang yang gelisah
kala melihat ketidakadilan yang menimpa sebagian besar pribumi. Sisi
kemanusiaan menjadi kekuatan utama dalam karya ini.
Demikian pula dengan karakter Nyai
Ontosoroh. Perempuan bertangan besi dengan hati yang mulia. Ia dengan gigih
mengangkat harkat dan martabat dirinya. Ia boleh saja berstatus sebagai gundik.
Namun, kecekatannya dalam membangun perusahaan membuat golongan kulit putih mau
tidak mau menghormatinya. Barangkali Ia satu-satunya pribumi perempuan dengan
visi dan misi yang jauh melewati masanya. Karena kita ketahui, pada saat itu
sangat jarang pribumi perempuan yang berkarir layaknya lelaki. Ini pula yang
membuat Minke kagum pada mertuanya itu, sehingga menganggapnya sebagai guru.
Keberaniannya dalam menyikapi berbagai permasalahan juga patut dijadikan
contoh. Pada kasus pewarisan harta Mellema misalnya, Ia boleh saja kalah dalam
persidangan. Namun, Ia tak boleh menunjukkan sikap menyerah tanpa upaya dan
usaha sebelum menuju kekalahan itu. Ia tunjukkan pada kaum pribumi lainnya,
bahwa sebagai makhluk Allah, semua orang berhak menyatakan sikap dan suaranya.
Suatu sosok yang begitu langka dewasa ini. Tidak heran, sematan 'Iron Lady'
sangat pantas disandangnya.
Di sini lah kehebatan Pram dalam
membangun karakter tokoh-tokohnya. Cara Pram mendeskripsikan masing-masing
tokoh juga sangat detil dan mampu membuat pembaca berimajinasi. Semua terlihat
sempurna dengan kisah yang menghiasinya. Tentang bagaimana Pram menghubungkan
satu konflik ke satu konflik lain. Dan bagaimana Pram menyelesaikan
konflik-konflik tersebut hingga klimaks, semua disaji dalam gaya penuturan yang
khas.
Pram tidak hanya luar biasa sebagai
pribadi, namun Ia juga luar biasa dengan 'anak rohaninya'. Melalui Bumi
Manusia, mau tak mau pembaca akan menyelami sejarah bangsa yang kelam sekaligus
penuh penderitaan. Kita akan langsung terkesan dan menyimpan kenangan
tersendiri ketika selesai membaca buku ini. Tidak heran karyanya ini dijadikan
sebagai referensi pelajaran di berbagai sekolah luar negeri. Suatu hal yang
kontras jika dibandingkan dengan Indonesia. Alih-alih berhebat-hebat dengan
kesusastraan, justru masih banyak anak negeri yang belum membaca karya
kemanusiaan ini. Sesuatu yang membuat saya sedikit mengutuk Orde Baru karena
telah melarang penerbitan buku ini. Sebagai sebuah karya sumbangan Indonesia
untuk dunia.
*Cerita
lebih lanjut tentang Miriam dan Minke dapat ditemui pada buku ketiga, Jejak
Langkah.
Malang, 10 Februari
2014
Aqsha Al Akbar
Pernah baca di mana gitu resensinya, baca sekilas, dulu saya kira Minke itu perempuan, rupanya laki-laki, hahaaa...
BalasHapusNice review
Saya manggilnya Bu atau Kak ini? Hehehe :-d
HapusMakasih banyak komentarnya. Iya, resensi Bumi Manusia memang banyak bertebaran di internet. Jadi ya, review ini cuma sebagai penghormatan aja untuk Alm. Pramoedya.
sampai sekrg sy blm begitu mengerti, kenapa dulu buku Bumi Manusia dibrendel sama pemerinth. pdhal bkunya 'hanya' mengisahkan kehidupan pribumi di zaman belanda. dari sekian byk tokoh di buku ini, saya suka karakter Nyai Ontosoroh. lebih kuat. makanya nggak salah, iconnya bumi manusia, nyai ontosoroh..
BalasHapusKarena Bumi Manusia satu paket dengan ketiga buku lainnya, wajar kalau dibredel dan dilarang penerbitannya. Kalau kita baca buku kedua dan ketiganya, nafas dari ideologi Sosialis terlihat kental. Ideologi terlarang pada masa Orba. Belum lagi, Pram sbg indvidu memang salah satu penganut ideologi Karl Marx dan Lenin.
HapusBetul Bang, karakter Nyai kuat bgt di buku ini. Termasuk di buku kedua. Hehehe.
latar postingannya bikin mataku sakit, jujur saja ngga fokus bacanya,
BalasHapusSudah saya ganti Kak. Hehehe
Hapusya ya ya..
BalasHapusApa ya ya ya yi?
HapusHari ini film bumi manusia sudah beredar banyak di internet, salut dengan karakter nyai sama minke, selalu tegar pantang menyetah
BalasHapusPenasaran bagaimana kisah cinta annelise setelah meninggalkan minke dan ibunya
BalasHapus