Senin, 03 Februari 2014

7 Buku Favoritku

Awalnya membaca merupakan hal yang begitu tidak aku sukai. Ibarat penyakit, Ia terus aku cegah dan sebisa mungkin untuk tidak membaca. Desakan orang tua, terutama Ayah yang terus membujuk agar aku senang membaca pelan-pelan membuahkan hasil. Pertama-tama aku disuguhkan komik biografi tentang tokoh-tokoh dunia. Seingatku saat itu masih di SD. 
Namun, itu tidak bertahan lama. Masuk SMP, aku tidak menyukai baca sama sekali. Hingga akhirnya sang Ayah yang baru saja pulang dinas keluar kota, menghadiahi satu buah buku untukku, "AKU", karya Sjuman Djaya. Sebuah buku yang tadinya skrip skenario yang tidak jadi divisualkan. Disitu pula aku mulai menulis puisi-puisi. Tentu saja, semenjak itu aku begitu mengagumi karya-karya Chairil Anwar, walau pada beberapa karyanya (yang katanya banyak terjemahan) tidak aku mengerti maknanya. Sedangkan novel pertama yang kubaca saat itu adalah Ayat-Ayat Cinta cetakan pertama tahun 2004. Pada awalnya, novel religi karya Habiburrahman El Shirazy itu belum booming. Bahkan setelah selesai membacanya, aku sempat berkenalan dengan Kang Abik (panggilannya) meski via sms.


Syahdan, entah karena aku ingin sok keren atau sok gaul, mulai lah membeli buku-buku sejak SMA. Dari rentang waktu tersebut hingga sekarang, sudah banyak buku yang kubaca. Sebagian merupakan milikku dan keluarga, sebagian lainya aku pinjam dari teman-teman. Kebanyakan buku yang sudah aku baca mau tidak mau tetap akan meninggalkan bekas dan kesan. Namun, karena ajakan grup Blogger Aceh Suka Buku / BASB untuk berbagi 7 buku favorit yang sebenarnya sulit untuk dipilah dan dipilih, ditambah keenggananku untuk menganak-tirikan buku lain yang telah kubaca, yaa baiklah...  Ini dia 7 Buku favorit versi The Climber of Words:

1.  Bumi Manusia
Inilah barangkali buku yang paling berkesan dari semua buku yang pernah kubaca. Buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Buku setebal 416 halaman ini tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Sangking terhanyutnya, tidak sampai 2 hari buku ini selesai dan meninggalkan duka sekaligus perasaan campur aduk lainnya. Kisah romansa Minke dan Annelies yang berbeda latar belakang baik budaya, bahasa, keturunan bangsa dan lainnya, membuat siapa saja yang membaca mengkhayal ke dimensi yang sama sekali berbeda. Terlebih cerita yang tersaji mengambil pemandangan masa kolonial Belanda, jauh sebelum gemuruh kemerdekaan berkumandang. (untuk review-nya, klik ini)

2. Anak Semua Bangsa

Merupakan lanjutan dari tetralogi yang pertama dari Bumi Manusia, kali ini Anak Semua Bangsa menampilkan sisi yang berbeda. Setelah kisah tragis yang menimpa Annelies, kekasih dan istri dari Minke si pribumi tulen, kehidupan Minke perlahan berubah. Terutama dalam pola pikir dan opininya tentang budaya Eropa. Ia yang sebelumnya mencintai Eropa dan menganggap benua kulit putih merupakan ikon kemajuan dunia mulai bergeser keyakinannya. Hal ini terjadi ketika orang-orang disekitarnya seperti mertuanya Nyai Ontosoroh dan dua sahabatnya Kommer dan Jean Marais mulai membangunkan Minke untuk lebih jeli melihat sesuatu. Bahkan dengan kasar mereka menuduh Minke tidak mengenal bangsanya sendiri, bangsa asli pribumi yang terlalu mendewakan bangsa Eropa.

Pada titik tersebut, Minke mulai merenung dan memilih untuk melihat kembali realita bangsanya. Suatu hal yang membuat Ia sadar, Eropa yang dipujanya itu bagaikan kuman atau racun yang siap membunuh siapa saja, membunuh bangsanya sendiri dengan kolonialisme. Terlebih nasib yang menimpa perempuan yang Ia kasihi juga dilakukan oleh mereka yang mengaku sebagai bangsa yang beradab dan menjunjung kemanusiaan. Setelah menyelesaikan hingga halaman terakhir, tanpa menunggu lama aku langsung meloncat ke buku selanjutnya, Jejak Langkah.

3. Jejak Langkah

Setelah bergelut dengan pemikirannya sendiri di buku ke-2 Anak Semua Bangsa, kali ini Minke yang sedang membangun jati dirinya mulai berbuat sesuatu untuk bangsanya. Jika pada dua buku sebelumnya lingkungan Borderij Buitenzorg yang berada di Sidoarjo terasa begitu 'mengekang' gerak langkahnya, pada buku Jejak Langkah ini latar tempat sudah berpindah ke Batavia. Minke memutuskan untuk sekolah lagi, kali ini di STOVIA. 

Mengetahui Minke gagal dalam studinya, Ia beralih dan membelokkan stir kehidupannya. Dengan semangat yang membumbung tinggi, ia mulai merintis perjuangannya. Dimulai dengan pendirian Medan Priaji, satu-satunya koran pribumi yang dikelola pribumi dan memihak pula kepada kepentingan pribumi. Hal yang tidak ada sebelumnya, selain media massa yang dikuasai kolonial. Halaman demi halaman kubaca. Tidak tidur pun jadi untuk membaca karya hebat ini. Kadang-kadang tersindir juga. Apakah kita mengenal bangsa kita sendiri? Sudah sampai tahap mana kita berkontribusi untuk kemajuan negeri ini? 

Salah satu hal yang bisa kita temui setelah membaca buku ini merupakan kenyataan sejarah yang di-fiksi-kan. Ya, Minke dalam Jejak Langkah adalah tokoh pers nasional sekaligus perintis awal gerakan-gerakan nasional. Dia lah R.M. Tirto Adhie Soerjoe. Salah satu pendiri Syarikat Dagang Islam awal mula dulu.

Membaca Tetralogi Buru dari buku ke-1 hingga ketiga melahirkan semangat baru dalam hidupku. Setidak-tidaknya mendobrak lamunanku dan memaksa melihat Indonesia, sekali lagi. Sayangnya, aku belum sempat membeli buku keempat dari keseluruhan tetralogi ini. Sebuah buku yang berjudul Rumah Kaca.

4. To Kill A Mocking Bird

Belum pernah rasanya aku membaca novel dengan penempatan tokoh anak kecil sebagai tokoh utama sudut pandang orang pertama. To Kill A Mocking Bird adalah sebuah karya Harper Lee satu-satunya yang begitu mendunia. Penuturan Scout Finch yang begitu kekanak-kanakkan sekaligus mencintai orang tua tunggalnya Atticus membuat aku larut dalam kisahnya. Mulai dari kejengkelannya pada Calpurnia yang cerewet dan kerap memarahi anak majikanya saat nakal hingga belaian kasih sayang Atticus padanya, membuat siapa pun yang membaca terharu. Kadang-kadang, aku sedikit menitikkan air mata saat membaca karya hebat ini. Bagiku, ini novel yang sangat jujur dan menyentuh nafas-nafas kemanusiaan kita.

5. The Kite Runner

Awalnya sekedar melihat-lihat pada tumpukan buku yang baru saja Ayahku bawa sepulang dari dinas ke medan. Maklum lah, di Aceh agak sulit mencari toko buku yang lengkap. Secara tidak sengaja, aku mengambil buku karya Khaled Hoesseini tersebut. Buku ini mengisahkan seorang anak bernama Amir Jan dan sahabatnya Hassan. Kedua sahabat kecil yang berbeda kasta sosial ini gemar bermain layangan ketika musim layangan dimulai di Afghanistan. Hingga akhirnya persahabatan mereka retak dan keduanya tak saling bertemu sekian tahun lamanya.

Mengikuti cerita ini, aku seperti diajak menyelami wajah Afghanistan sebelum invansi Rusia dan wajah Afghanistan ketika masa kekuasaan Taliban. Mencapai akhir sebuah buku, tanpa terasa gemuruh kecil di dada memaksa aku (lagi) untuk menitikkan air mata. Entah lah, cengeng atau tidak, yang jelas aku selalu kalah kalau hati dan mata bersekongkol merubuhkan kegaranganku. Heu.

6. Stasiun



Salah satu karya terbaik Putu Wijaya, yang katanya sukses membuat si empunya buku melambung namanya. Tidak berlebihan, menurutku. Karena memang novel ini sedikit 'ngawur' dan gila dalam caranya sendiri. Awalnya aku sedikit kebingungan ketika membaca. Namun, setelah aku ulang lagi, baru lah aku bisa mengikuti jalan cerita yang liar ini. Tidak ada reaksi apa-apa selesai membaca, selain terperangkap pada kekaguman yang nyata. Sebaiknya memang kita nggak boleh berpikir terlalu jauh tanpa membalikkan halaman berikutnya. Soalnya, pasti menyesal karena dugaan kita meleset terus. Unik!

7. 360 Cerita Jenaka Nasruddin Hoja
Nah, sebagai penutup, salah satu buku favoritku (yang hilang karena dipinjam teman) adalah kumpulan kisah jenaka seorang Sufi dari Turki, Nasruddin. Kisahnya yang lucu membuat aku terpingkal-pingkal ketawa. Apalagi kalau sudah berurusan dengan istrinya yang galak dan Timur Lenk, penguasa di jamannya. Terlebih, kekocakannya yang tak diduga-duga ini mengandung banyak hikmah atau pelajaran yang dapat dipetik. Sampai-sampai, karena tak rela buku itu lenyap di rak bukuku, sengaja kukumpulkan kisah-kisahnya yang bertebaran di internet. Lucu abis!
**
Itu lah tujuh buku favoritku yang paling membekas dan berkesan dari masa ke masa (aih...). Walaupun sebelum membuat tulisan ini aku harus berupaya mengembalikan ingatan yang telah sedikit terkikis. Akhirnya setelah membongkar susunan buku, lega juga hati. Seolah ada ingatan masa lalu yang berdesir manis melintasi kotak memori yang panjang. 

Sekian, senang bisa berbagi.
Salam...

Malang 3 Februari 2014
Aqsha Al Akbar

12 komentar:

  1. Oh My God! Buku-bukunya keren-keren semua. Yang udah baca cuma 'The Kite Runner'. Itu buku-buku Pram belum ada yang saya baca satupun. Waduh, saya ketinggalan banyak ini.
    Untung ketemu BASB, jadi termotivasi untuk punya buku-bukunya Pram.
    TFS ya, gegara baca postingan ini, hampir lupa saya mau beli buku-bukunya Pram

    BalasHapus
  2. Kite runner aku punya versi grafisnya hehehhe

    BalasHapus
  3. - Fardelyn Hacky : Hehehe. Iya bu, kebetulan ada teman iseng sodorin buku itu ke saya. Ayo beli bu, luar biasa karyanya Pram.

    -aida_aie : yang penting kita sudah baca. :)

    BalasHapus
  4. Ini sih bukan lunas lagi, tapi sudah masuk investasi modal untuk buka pabrik kedua. Kereeen, buku2nya.

    BalasHapus
  5. wah hahaha. Makasi bang. Makasi juga ke teman saya yang rela pinjamin sebagian bukunya ke saya.

    BalasHapus
  6. Jehai, ada Bumi Manusia,.
    Padahal aku pingin pilih itu juga untuk favorite aku..
    Teros Stasiun, karya putu wijaya, omeen, keren-keren kali way..

    BalasHapus
  7. haayyyaaaa...penggila Pram!
    dari semua buku baru baca buku BUMI MANUSIA dg KITE RUNNER..
    Bumi manusia seru!
    tpi kalo utk buku Khaled Hossein, saya lbh suka Thousand splendid suns, buku keduanya ketimbang Kite Runner..

    BalasHapus
  8. Gilaaaaaaaaaaaaaaaaaak! Bukunyaaaa kereen dan berat-berat semua. Saya tunggu reviewnya. :)

    BalasHapus
  9. Ayi : kan uda pernah kita bahas dulu Bumi Manusia sama Stasiun. Ini yang keren aku apa bukunya yi? hahaha

    Bang Ferhat : susah kita bang. Kalo uda baca buku Pram susah lepas. Ini juga baru mulai baca buku Pram yang lain; Jalan Raya Pos. Thousand Splendid Suns itu kayaknya punya, tapi sama kayak si Ayi, di Aceh mungkin. belum sempat baca juga. Nice info bang. :D

    Isni : Gak gilaaaak ee. Juga gak berat-berat. Haha. Iya, nanti aku coba review. hehe..

    BalasHapus
  10. ya ya ya, itulah ke mana aku pergi pun, kalau udah ngomongin buku, pasti pram sempat di bahas.. Mbah Pramono sama Pakde Putu bambu yang keren :-d

    BalasHapus

Silahkan komentari tulisan di atas. Kritik dan saran sangat membantu saya memperbaiki tulisan-tulisan yang lain. Terima kasih. :)